SEPUTARPOHUWATO.COM – Praktik tambang emas ilegal atau Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) kembali mencoreng wajah konservasi di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Aktivitas tambang liar ini terpantau berlangsung di wilayah Tomula, sebuah kawasan yang masuk dalam zona cagar alam, Selasa (15/07/2025).
Dari pantauan awak media dan keterangan sumber di lokasi, aktivitas penambangan tidak hanya menggunakan tenaga manusia, tetapi juga mengerahkan alat berat (eskavator) untuk mengeruk material tambang.
Material tersebut kemudian diarahkan ke tiga buah tong rendaman besar, yang diduga kuat menggunakan zat kimia berbahaya jenis sianida dalam proses pengolahannya.
Daeng Edi, seorang pria asal Makassar, mencuat sebagai pemilik dari tong rendaman tersebut. Ia diduga sebagai koordinator utama kegiatan ilegal ini, mengendalikan proses ekstraksi emas dengan metode pelindian kimia yang dilakukan tepat di jantung kawasan konservasi Tomula.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah ancaman serius terhadap ekosistem dan keselamatan masyarakat sekitar,” ujar sumber yang enggan disebutkan namanya.
Penggunaan sianida dalam pengolahan emas sangat berisiko tinggi. Jika tidak ditangani dengan standar pengelolaan limbah yang memadai, bahan kimia ini bisa mencemari tanah dan sumber air, bahkan membunuh flora dan fauna yang hidup di sekitarnya.
Payung hukum terkait pelanggaran lingkungan ini juga jelas.
Mengacu pada:
1. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelaku yang menyebabkan pencemaran lingkungan tanpa izin dapat dipidana hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar (Pasal 98).
2. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pelaku perusakan kawasan konservasi diancam pidana 10 tahun dan denda Rp200 juta (Pasal 40 ayat 2).
3. Permen LHK No. P.76/MENLHK-SETJEN/2015, secara tegas melarang aktivitas eksploitasi mineral di kawasan suaka alam.
Hingga berita ini dirilis, belum tampak adanya upaya tegas dari BKSDA, Dinas Lingkungan Hidup, maupun aparat kepolisian untuk menghentikan aktivitas PETI di kawasan tersebut.
Eksistensi alat berat di lokasi Tomula memperkuat dugaan lemahnya pengawasan serta potensi adanya pembiaran dari pihak-pihak tertentu.
Kehadiran aktor luar daerah seperti Daeng Edi dalam aktivitas perusakan konservasi ini menunjukkan pola baru kejahatan lingkungan yang bersifat terorganisir.
Mereka membawa teknologi, bahan kimia berbahaya, dan kekuatan modal untuk menjarah kekayaan alam daerah tanpa izin, tanpa kontrol, dan tanpa pertanggungjawaban.
Masyarakat mempertanyakan ketegasan negara dan pemerintah daerah. Apakah hukum lingkungan akan ditegakkan secara adil? Atau justru tajam ke bawah namun tumpul ke atas?
“Dan ini, jika tidak ada langkah nyata, kasus Tomula bisa menjadi preseden buruk yang membuka ruang bagi praktik serupa di wilayah konservasi lainnya,” ujarnya menambahkan.